Memandang Kematian Lebih Dekat

Ferdin Maulana Ichsan
2 min readJan 18, 2021
Foto oleh Naufal Malik

Kemajuan teknologi membuat segala hal yang jauh menjadi dekat dan yang dekat semakin jauh. Satu narasi yang begitu klise tapi tidak berarti segala yang klise itu bukan realita.

Kita menjadi semakin selektif terhadap segala informasi yang kita terima. Hal ini berkat algoritma yang membaca pola kebiasaan kita terhadap segala yang kita sukai.

Dewasa ini, kita bahkan bisa membisukan segala informasi yang membuat kita kurang nyaman. Sungguh, menjadi ignorant adalah satu-satunya jalan kebahagiaan.

Para filsuf seperti Plato misalnya, ia memperoleh segudang pengetahuan selama hidup yang seiring menjadi kearifannya. Tetapi pada akhirnya, Ia mengakui bahwa ia tidak pernah tahu apa-apa. Atau Hegel, risalah di nafas terakhirnya ia menggerutu bahwa tidak ada satu pun manusia yang bisa memahaminya.

Di saat kita menerima banyak pengetahuan atau informasi, implikasinya hanya terdikotomi menjadi: 1). menyadari bahwa kita tidak pernah tau apa-apa, atau 2). tidak dapat memprosesnya — menjadi alien yang tidak dapat dipahami siapapun.

Kematian jadi informasi yang berusaha kita bisukan. Padahal kematian sangat dekat, selalu melekat menjadi satu dengan diri kita. Sepanjang peradaban manusia, kita selalu berusaha menghindari kematian, suatu yang absolut. “Wille zum Leben” atau dorongan untuk hidup yang disederhanakan menjadi “kegiatan beranak-pinak” adalah satu upaya manusia mencapai keabadian.

Feuerbach, murid Hegel yang sangat materialistik, membuat suatu gagasan bernama “Gattung”, yaitu upaya manusia untuk menjadi abadi dengan saling bekerja sama menutupi kekurangan satu sama lain.

Kenapa kematian menjadi hal yang berusaha kita hindari?

Bukankah kematian adalah bagian dari kehidupan? Dua sisi dari satu koin yang sama. Kematian membuat kehidupan kita yang sementara menjadi lebih bermakna. Hanya dalam kematian semua orang bisa benar-benar setara — tidak memandang SARA, kekayaan atau hierarki.

Apakah manusia berusaha menghindarinya karena insting untuk bertahan hidup? Ketakutan atas segala yang tidak diketahui? Dari triliunan jumlah manusia yang mati, tidak pernah ada satu pun yang kembali untuk menceritakan ada apa setelah kematian.

Lalu kenapa kita tidak mencoba lebih dekat dengan kematian? Dibanding menghindari, berusaha memahaminya seperti kita berusaha memahami kehidupan. Suatu kesia-siaan? Bukankah mencoba memahami hidup seperti kutukan Sisyphus yang sama absurdnya?

Kabar tentang kematian tadinya hanya suatu isapan jempol di portal berita harian, tepukan lembut pada pundak. Akan tetapi, akhir-akhir ini kita seakan dipaksa memandang kematian lebih dekat, sejengkal di depan mata kita.

Lingkungan yang semula terasa aman kini seakan diselimuti kematian yang selalu menguntit kemanapun. Ia siap menerjang diri kita atau orang-orang yang kita sayangi. Dewa kematian menjelma dalam bentuk pandemi, bencana alam, atau kecelakaan untuk memorak-porandakan kehidupan manusia.

Padahal sejak manusia pertama lahir di muka bumi, kematian tidak pernah menghampiri atau mengetuk pintu depan rumah kita. Ia selalu di sana, diam menyatu dalam bayangan kita.

Menunggu kita untuk memandangnya lebih dekat.

--

--

Ferdin Maulana Ichsan

Somewhat philosophical, doom romance troupe, and existential issues.