Tenggelam

Ferdin Maulana Ichsan
2 min readOct 21, 2020

Dahulu rasanya Aku tidak pernah peduli dengan kata-kata orang lain.

“l’enfer c’est les autres”

Satu petik Sartre yang selalu ada di ujung benakku. Bahwa Aku bebas atas diriku sendiri. Tapi Aku lupa apabila kala itu, Aku sedang bahagia dengan segala kesederhanaan di sekitarku.

Genjrengan distorsi gitar dengan sedikit efek delay, terdengar repetitif di kamar ujung yang penuh tai kucing,

“OI, KONO YARO!” Suara game Yakuza terdengar di depan kamar, atau suara speaker yang memutarkan lagu-lagu UK Garage sejak semalam dari kamar Si Gemini. Lalu, landakku yang berlarian bebas di dalam kamar.

Dan senyum Nona itu dulu yang geleng-geleng melihat betapa idiotnya tingkahku.

“Oy barudak, tingali ieu aing mawa naon!” Si Preman gondrong cabul datang menyodorkan botol Intisari. Bukankah sudah sering Aku katakan bahwa misoginis, seksisme, dan segala isu gender adalah perihal edukasi?

Ia tidak punya privilese atau akses untuk itu. Tentu sudah sering kami nasehati, tapi lihatlah — jalanan keras adalah tempat Ia tidur. Namun sial, Kamu malah menuduhku melanggengkan patriarki.

Aku melihat refleksi diriku dalam cermin. Ah bajingan! Payah sekali rupamu kini. Sejak kapan dirimu terperangkap dalam ruangan dengan dinding serba putih yang asing. Bukankah di sana terasa begitu sunyi? Tidak ada lagi suara pecah distorsi gitar. Oh Tuhan, Aku bahkan rindu bau tai kucing sialan itu.

Aku perlahan-lahan mendengar suara orang-orang,

“Aku dengar dia sering meniduri perempuan,”

“Aku dengar dia gay,”

“Jangan dekat-dekat, dia beracun!”

“Halah masa depannya tidak jelas.”

Kamu ingat? Bukankah suara-suara itu dulu hanyalah pamflet-pamflet kampanye politik yang tidak pernah Kamu hiraukan? Semuanya demi mendapat suara dari kompetisi yang tidak pernah Kamu ikuti.

Sial, kebahagiaan yang melindungiku dulu sudah pergi dimakan waktu. Kesedihanku pun perlahan mulai mengering.

“Menjijikan! Bertahun-tahun bersama-Nya adalah neraka bagiku.”

Aku menutup keras telingaku. Yang bisa Aku dengar kini hanya bisingnya pikiranku sendiri.

“Hey Dazai-san, inikah yang Anda maksud merasa tidak lagi manusia?” tanyaku.

“…”

“Haruskah Aku menenggelamkan diriku?”

--

--

Ferdin Maulana Ichsan

Somewhat philosophical, doom romance troupe, and existential issues.